Audiensi, BEM FH UBL Desak Kemenhut RI Tuntaskan Konflik Agraria

Presiden Mahasiswa FH UBL, Alfin Sanjaya (foto: istimewa)

JAKARTA – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Bandar Lampung (UBL) Senin (15/9), melakukan audiensi ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Republik Indonesia untuk melanjutkan salah satu tuntutan dari aksi massa Aliansi Lampung Melawan pada 1 September 2025 lalu.

Salah satu tuntutan dari Aliansi Lampung Melawan yakni penyelesaian konflik agraria di lampung, seperti kasus Anak Tuha, Sugar Group Companies (SGC) serta daerah lain seperti register 42, 44 , 46 di Way Kanan.

“Kementerian Kehutanan adalah kementerian Negara yang memiliki peran strategis dalam penyelesaian konflik agraria di areal kawasan hutan, atas perannya yang strategis tersebut BEM FH UBL menilai bahwa sudah seharusnya kementerian kehutanan memberikan kebijakan yang berdasarkan pada rasa keadilan masyarakat dan keadilan ekologis,” ungkap Alfin Sanjaya, Presiden Mahasiswa FH UBL, Rabu (17/9/2025).

“BEM FH UBL disambut baik di dalam proses audiensi tersebut namun, kita perlu memastikan bahwa Kementerian Kehutanan melakukan langkah konkret dalam penyelesaian konflik agraria. Selain itu kami bersama perwakilan masyarakat register 44 Way Kanan menyuarakan terkait dengan penyelesaian konflik yang terdapat di daerahnya” timpalnya.

Alfin menambahkan, jika audiensi dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang terjadi di Provinsi Lampung. Konflik agraria tersebut masyarakat dihadap- hadapkan kepada Perusahaan, mafia tanah, dan Negara.

“Akibat dari konflik tersebut masyarakat kehilangan hak atas tanah dan ruang hidup, selain itu akibat struktural dari konflik tersebut masyarakat kehilangan ekonomi sehingga memperbesar peluang kriminalitas seperti pencurian karena masyarakat yang kehilangan hak atas tanah,” jelasnya.

Lanjut Alfin, negara harus memastikan bahwa pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar- besarnya kemakmuran Rakyat”.

Selain itu, terdapat UU No. 5 tahun 1960 tentang aturan pokok-pokok agraria yang mengatur tentang aturan pertanahan di Indonesia selanjutnya disebut UUPA .

Meskipun UUPA menjadi instrumen hukum yang merubah aturan kolonial Belanda tetapi dalam implementasi aturan tersebut masih bermasalah dalam segi substansi, struktur dan budaya hukum dibuktikan oleh maraknya konflik Agraria salah satunya di Lampung.

Latar belakang dari Konflik yang terjadi di kawasan register 42, 44 dan 46, yaitu berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan, hingga saat ini izin pengelolaan kawasan hutan di pegang Oleh Inhutani V.

Namun terdapat masyarakat yang mengelola tanah tersebut turun temurun, selain itu terdapat dugaan pelanggaran hukum dalam perpanjangan izin kawasan hutan tersebut dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat, yang kemudian berdampak kepada masyarakat yang dihadapi hadapkan pada aparat penegakkan hukum dan pam swakarsa perusahaan.

“Kami berharap dengan adanya Perpres No. 5 tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan, dapat memberikan keadilan kepada masyarakat melalui penegakkan hukum terhadap pelanggaran pelanggaran hukum terkait dengan izin kawasan hutan bukan hanya sekedar denda administratif tetapi kami berharap terhadap izin kawasan hutan tersebut dapat diberikan kepada Masyarakat yang kami nilai langkah ini justru dapat meningkat kesejahteraan dan juga pendapatan negara berdasarkan skema misalnya,” terangnya.

Partisipasi Masyarakat dalam penyelesaian konflik di kawasan hutan juga menjadi penting hal tersebut untuk menghindari konflik yang berkelanjutan, karena tidak adanya Partisipasi masyarakat. (*)